IKAN SIDAT (Anguilla bicolor)
MAKALAH
OLEH :
M. ARMAN AHMAD (Mazara Aurora)
051609013
PROGRAM STUDY MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Allah
SWT karena atas Nikmat-Nya terutama nikmat kesehatan dan kesempatan
sehingga Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Ikan Sidat (Anguilla bicolor)“.
Dalam penyusunan makalah ini, berbagai kesulitan Penyusun hadapi,
namun kesulitan tersebut dapat teratasi berkat bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini Saya selaku Penyusun
menghanturkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyusunan makalah
ini.
Dalam makalah ini, Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan. Hal ini tidak terlepas dari kemampuan dan keterbatasan
Penyusun sebagai Penyusun. Maka dari itu, kritik maupun saran yang
sifatnya membangun dari berbagai pihak sangat Penyusun butuhkan demi
menyempurnakan makalah ini. Akhir kata Penyusun mengharapkan agar ini
dapat bermanfaat bagi kita semua terutama generasi akademik perikanan.
Ternate, April 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Dan Manfaat
II. PEMBAHASAN
3.1 Migrasi Atau Ruaya Ikan Sidat (Anguilla bicolor)
3.1.1 Fenomena Plastisity Pada Ikan Migrasi
3.2 Cara Reproduksi Ikan Sidat
3.3 Siklus Hidup Ikan Sidat
3.4 Mengetahui Potensi Bisnis Ikan Sidat
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Migrasi atau dalam dunia perikanan lebih
dikenal juga dengan istilah ruaya merupakan suatu proses perpindahan
ikan ke tempat yang memungkinkan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang
biak. Heape (1931) dalam Lucas & Baras (2001) menyebutkan migrasi
adalah sebuah proses siklus yang “mendorong” migran (hewan yang
melakukan migrasi) untuk kembali ke wilayah di mana migrasi dimulai,
tempat untuk bereproduksi, menemukan makanan serta tempat yang memiliki
iklim tepat untuk sintasannya. Lucas & Baras (2001) menyebutkan
secara umum migrasi merupakan pergerakan suatu spesies pada stadia
tertentu dalam jumlah banyak ke suatu wilayah. Perubahan iklim akan
memacu ikan untuk melakukan proses migrasi atau perpindahan (Nikolsky,
1963; Harden Jones, 1968 dalam Lucas & Baras 2001) namun kondisi ini
tidak ditemukan di daerah yang beriklim tropis dan subtropis Northcote
(1978). Northcote (1978) menyebutkan bahwa ada tiga habitat sebagai
tempat yang menjadi tujuan saat melakukan migrasi, yaitu tempat untuk
reproduksi, tempat untuk makan dan tempat untuk berlindung dari serangan
predator di mana ketiga habitat tersebut tidak selalu sama dan akan
dikunjungi oleh ikan pada stadia tertentu.
Setiap ikan yang melakukan kegiatan
migrasi selalu berangkat dari dan menuju suatu lokasi yang sama atau
hampir sama dengan tempat di mana dilahirkan. Migrasi menuju tempat
reproduksi umumnya dilakukan setiap tahun atau setiap musim pemijahan.
Namun migrasi yang dilakukan oleh ikan yang masih kecil (juvenile) untuk
mencari makan dapat dilakukan berulang kali hingga masa pemijahan
dimulai. Ikan yang dapat melakukan pemijahan lebih dari satu kali akan
melakukan ruaya pemijahan kedua tidak selalu sama dengan ruaya yang
pertama namun karakter lokasi yang menjadi tujuan tetap sama (Mc Keown,
1984). Hal ini juga ditemukan pada ikan yang melakukan migrasi untuk
mencari makanan, di mana area kedua dan sebelumnya tidak selalu sama
namun memiliki karakter sumberdaya yang hampir sama.
Lebih dari seratus tahun yang lalu di perairan Lofoten, New Foundland banyak ditemukan ikan cod ( Gadus sp.)
pada musim-musim tertentu. Para nelayan waktu itu menduga bahwa ikan
tersebut berasal dari Atlantik Utara, namun tidak ada bukti yang
menunjukkan pergerakan ikan tersebut.
Setelah ditemukannya metoda tagging maka
pada tahun 1913 misteri keberadaan ikan cod ini pun mulai diketahui,
bahwa ikan tersebut merupakan stok yang bergerak dari Bear Island menuju
perairan Lofoten untuk melakukan pemijahan (Woodhead, 1963 dalam
Gunarso, 1988).
Fenomena lain dalam migrasi ikan adalah perpindahan ikan Sidat ( Anguilla sp.)
dari air tawar menuju laut untuk melakukan pemijahan (katadromus).
Matsui (1993) menduga lokasi pemijahan ikan sidat berada pada kedalaman
lebih dari 500 m. Leptochephalus yang baru menetas bergerak kearah
permukaan laut dan berenang secara diurnal. Leptochephalus mengalami
metamorfosis menjadi glass eel yang ditandai dengan terbentuknya sirip
dan panjang badan mulai memendek selanjutnya glass eel tersebut berenang
mengikuti arah arus hingga mencapai air tawar.
1.2 Tujuan Dan Manfaat
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
- Untuk mengetahui proses migrasi ikan Sidat
- Mengetahui cara reproduksi ikan Sidat
- Mengetahui siklus hidup ikan Sidat
- Untuk mengetahui potensi bisnis ikan Sidat
Dan manfaat yang di dapat ialah menjadi sumber informasi kepada teman-teman mahasiswa akan bagusnya komoditas ikan Sidat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Dan Morfologi
2.1.1 Klasifikasi
Menurut Nelson (1994) ikan sidat diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Subkelas : Neopterygii
Division : Teleostei
Ordo : Anguilliformes
Famili : Anguillidae
Genus : Anguilla
Species : Anguilla spp.
Nama spesies : Anguilla bicolor
Sidat (Anguilla spp.) merupakan
ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis penting baik untuk pasar
lokal maupun luar negeri. Permintaan pasar akan ikan sidat sangat tinggi
mencapai 500.000 ton per tahun terutama dari Jepang dan Korea, pemasok
utama sidat adalah China dan Taiwan (Anonim, 2006). Sidat yang dikenal
dengan ’unagi’ di Jepang sangat mahal harganya karena memiliki kandungan
protein 16,4% dan vitamin A yang tinggi sebesar 4700IU (Pratiwi, 1998).
2.1.2 Morfologi
Tubuh sidat berbentuk bulat memanjang,
sekilas mirip dengan belut yang biasa dijumpai di areal persawahan.
Salah satu karakter/bagian tubuh sidat yang membedakannya dari belut
adalah keberadaan sirip dada yang relatif kecil dan terletak tepat di
belakang kepala sehingga mirip seperti daun telinga sehingga dinamakan
pula belut bertelinga. Bentuk tubuh yang memanjang seperti ular
memudahkan bagi sidat untuk berenang diantara celah-celah sempit dan
lubang di dasar perairan.
Panjang tubuh ikan sidat bervariasi
tergantung jenisnya yaitu antara 50-125 cm. Ketiga siripnya yang
meliputi sirip punggung, sirip dubur dan sirip ekor menyatu. Selain itu
terdapat sisik sangat kecil yang terletak di bawah kulit pada sisi
lateral. Perbedaan diantara jenis ikan sidat dapat dilihat antara lain
dari perbandingan antara panjang preanal (sebelum sirip dubur) dan
predorsal (sebelum sirip punggung), struktur gigi pada rahang atas,
bentuk kepala dan jumlah tulang belakang.
2.2 Kebiasaan Makan Ikan Sidat
Berdasarkan analisis isi lambung ikan
sidat dewasa didapatkan jenis makanannya adalah kepiting, udang dan
keong. Sedangkan pada elver dan glass eel, jenis makanannya tidak
teridentifikasi. Berdasarkan penelitian Pirzan dan Wardoyo (1979) ikan
sidat pada stadia elver memakan plankton, ikan kecil, udang-udangan dan
insekta. Sedangkan glass eel yang baru masuk ke cabang sungai isi
lambungnya kosong. Menurut Sutardjo dan Mahfudz (1971) ikan sidat yang
berukuran 14,5 B 66,3 cm sebagian besar makanannya berupa udang.
Jenis-jenis makanan ikan sidat tersebut
sesuai dengan keberadaan jenis-jenis organism yang tersedia di
habitatnya. Oleh karena itu pertumbuhan dan kehidupan ikan sidat sangat
tergantung pada kehidupan organism bentik baik insekta, moluska maupun
dekapoda.
Di alam ikan sidat memakan bermacam-macam
insekta, cacing dan ikan kecil. Ikan sidat jantan akan matang gonad
pada umur 3-4 tahun, sedangkan sidat betina 4-5 tahun. Setelah ikan
dewasa akan kembali ke laut dan mencari spawning ground lalu mati
setelah memijah (spawn).
2.3 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran
baik panjang volume atau berat dalam satu waktu tertentu (Effendie,
1997). Weatherley (1972) dalam Sriati (1998) mengemukakan bahwa
pada stadia juvenil, ikan sidat mempunyai laju pertumbuhan yang cepat,
di mana panjang berat bersifat linier. Hal ini disebabkan karena pada
stadia juvenil belum terjadi perkembangan gonad, sehingga kelebihan
energi yang masuk seluruhnya digunakan untuk pertumbuhan. Umumnya di
daerah tropis makanan merupakan faktor yang sangat berpengaruh demi
pertumbuhan ikan sidat. Pada keadaan normal, ikan akan mengkonsumsi
makanan relatif lebih banyak sehingga pertumbuhannya sangat cepat.
Selain itu keberhasilan dalam mendapatkan makanan akan menentukan
pertumbuhan ikan tersebut (Affandi dan Riani ; 1994). Hasil penelitian
mereka menunjukkan bahwa khusus untuk daerah tropis, pertumbuhan terjadi
pada bulan April hingga September, dan pada periode tersebut ikan sidat
aktif dalam mencari makan.
Beberapa penyebab pertumbuhan larva
lambat adalah nafsu makan kurang, kualitas pakan tambahan rendah dan
jumlah pakan yang kurang, serta padat penebaran yang terlalu tinggi.
Selain itu faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya kelangsungan hidup
benih ikan sidat, adalah persiapan bak atau wadah pemeliharaan benih
yang kurang sempurna, padat penebaran yang terlalu tinggi, adanya
serangan penyakit ekor putih (Sasongko dkk., 2007).
2.4 Aspek Budidaya
Budidaya sidat sudah dilakukan di
beberapa negara (Jepang, China, Taiwan, dan Itali) sejak awal abad 20
(Matsui, 1982); sedangkan di Indonesia baru dirintis sekitar tahun
1995-1997 namun kurang berkembang karena tidak terjaminnya pasokan benih
yang siap tebar (Herianti, 2005). Hal ini sejalan dengan pendapat
Setiadi dkk.(2006) dan Prahyudi (Pers Com) yang mengatakan bahwa kendala
utama dalam budidaya sidat yang dihadapi adalah tingginya mortalitas
pada saat glass eel sampai elver yang mencapai 70-80%. Begitu pula
dengan Peni (1993) dan Keni (1993) yang menyatakan bahwa pemeliharaan
benih sidat pada tahap awal merupakan masa yang paling sulit dengan
tingkat kelangsungan hidup sebesar 30-50%.
Selain mortalitas yang tinggi, masalah
lain dalam budidaya sidat adalah laju pertumbuhannya yang lambat yaitu
kurang dari 3,1% (Bromage et al.,1992). Kepadatan tebar juga perlu
diperhatikan karena berpengaruh terhadap mortalitas dan pertumbuhannya.
Degani dan Lavenon dalam Affandi & Riani (1995) melaporkan bahwa
kelangsungan hidup elver dalam pemeliharaan berkisar antara 37-55% yang
tergantung pada padat penebarannya. Matsui (1982) menambahkan bahwa
kepadatan yang optimal pada pemeliharaan sidat adalah 1,1-1,9 kg per 3,3
meter persegi.
Untuk memacu pertumbuhan ikan sidat perlu
disediakan pakan berprotein hewani yang tinggi karena sifatnya yang
karnivora (Peni, 1993; Sarwono, 1999; Kamil dkk., 2000). Aktivitas makan
sidat paling tinggi terjadi pada malam hari karena sifatnya nokturnal
(Matsui, 1982; Sarwono, 1999). Dengan demikian manipulasi penetrasi
cahaya diduga akan mempengaruhi aktivitas makan yang secara tidak
langsung akan berdampak pula pada meningkatnya pertumbuhan.
Dalam masa awal pemeliharaan salinitas
juga perlu diperhatikan, Affandi & Riani (1995) melaporkan bahwa
saat kritis pemeliharaan benih sidat yang ditangkap dari alam adalah
pada pemeliharaan larvanya (glass eel-elver), kisaran salinitas air yang
baik untuk pemeliharaan diperkirakan antara 0-7‰.
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan
adalah proses dan cara pengangkutan. Penanganan yang baik pada saat di
lapangan maupun pengangkutan akan menekan tingkat mortalitas. Matsui
(1982) melaporkan bahwa benih sidat yang berasal dari Selandia Baru yang
sebelumnya diberok selama dua hari pada air mengalir bersuhu 14 oC dan
pada saat pengangkutan dipacking dalam box bersuhu 5-8oC ternyata tidak
ada kematian dalam pengangkutan selama 32 jam. Suhu dalam box
pengangkutan terkait dengan tingkat metabolisme tubuh dan aktivitas
glass eel, dimana pada suhu rendah metabolisme dan aktivitasnya akan
menurun sehingga pengeluaran bahan beracun terutama CO2 dan amoniak akan berkurang begitu pula dengan konsumsi oksigen akan lebih rendah.
Kegiatan budidaya sidat tahap pembesaran
dilakukan mulai tahap elver (sebesar pensil) sampai ukuran konsumsi yang
beratnya sekitar 250-300 gr/ekor. Salah satu cara/tempat pemeliharaan
adalah menggunakan jaring apung yang ditempatkan pada situ, danau, atau
kolam ukuran besar (Gambar 2). Pakan yang diberikan biasanya berupa
pellet dengan kandungan protein di atas 30%.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1Migrasi Atau Ruaya Ikan Sidat (Anguilla bicolor)
Ikan sidat ketika sudah dewasa
dan siap untuk kawin biasanya mereka akan mencari jalan ke laut dalam
atau samudera untuk berpijah, perjalanan ikan sidat dari air tawar ke
air laut biasa disebut sebagai ruaya ikan sidat, sedangkan arti ruaya
secara luas adalah merupakan satu mata rantai daur hidup bagi
ikan untuk menentukan habitat dengan kondisi yang sesuai bagi
keberlangsungan.
Studi mengenai ruaya ikan menurut
Cushing(1968) merupakan hal yang fundamental untuk dunia
perikanan karena dengan mengetahui lingkaran ruaya ikan akan
diketahui daerah dimana stok atau sub populasi itu hidup. Ruaya ini
mempunyai arti penyesuaian, peyakinan terhadap kondisi yang
menguntungkan untuk eksistensi dan untuk reproduksi spesies seperti
ikan sidat.
Pergerakan ruaya ikan ke daerah
pemijahan mengandung tujuan penyesuaian dan peyakinan tempat yang
paling menguntungkan untuk perkembangan telur dan larva. Sejak telur
dibuahi sampai menetas. Terus menjadi larva meruapakan saat
yang kritis karena mereka tidak dapat menghindarkan diri dari
serangan predator.
3.1.1 Fenomena Plastisity Pada Ikan Migrasi
Fenotipik plastisity pada ikan migrasi
dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada morfologi dan
fisiologi ikan selama proses migrasi. Perubahan lingkungan selama proses
migrasi akan diikuti oleh perubahan morfologi dan fisiologi ikan
sebagai upaya adaptasi. Pada ikan sidat perubahan morfologi terlihat
mulai dari fase lepthochepalus hingga fase silver eel, meliputi
pigmentasi, morfologi, dan perkembangan organ-organ tertentu. Sedangkan
perubahan fisiologi umumnya terjadi pada saat memasuki fase pemijahan
atau perkembangan organ reproduksi dan pada saat memasuki perairan yang
memiliki karakter fisika dan kimia berbeda.
Berikut ini merupakan perubahan-perubahan
yang dialami oleh ikan sidat selama proses migrasi, baik perubahan
morfologi maupun perubahan fisika.
1) Adaptasi Morfologi
Adaptasi merupakan proses penyesuaian
organisme, struktur organisme, tingkah laku untuk meningkatkan fitness
(kemampuan hidup) sehingga bisa berkembang biak. Ikan sidat memiliki
berbagai macam strategi beradaptasi terhadap morfologinya. Di antara
adaptasi morfologi yang ada pada ikan sidat adalah bentuk badan, warna
kulit, organ pernafasan, organ sensorik, mata, dan lain-lain. Adaptasi
bentuk badan ikan sidat pertama kali mulai terlihat pada fase
leptocephalus, yaitu bentuk badan yang pipih menyerupai daun. Hal ini
sangat penting dimiliki oleh ikan yang akan melakukan migrasi secara
pasif ( pasif transported) mengikuti pola arus. Di samping bentuk badan
yang pipih lapthocephalus juga memiliki warna badan yang transparan
sebagai upaya adaptasi terhadap serangan predator. Pada saat memasuki
perairan tawar ikan sidat mulai mengalami metamorfosis yaitu bentuk
badan berubah menjadi oval dan panjang. Bentuk badan ini sangat
memudahkan ikan untuk bergerak/ berenang dengan cepat saat memasuki
muara sungai, dan melakukan tingkah laku meliang dalam lumpur. Di
samping itu, kelenturan badan berperan dalam membantu ikan sidat
bersembunyi dibalik batu untuk menghindari serangan predator.
Pigmetasi ikan sidat akan beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan pada tahap larva ikan tidak memiliki warna
atau transparan, sehingga memudahkan larva mengindar dari serangan
preda- tor. Seiring dengan pertambahan ukuran badan pigmen ikan sidat
mulai muncul, hingga ukuran matang gonad warna badan ikan akan semakin
terang untuk mengikat pasangan.
Ikan sidat mempunyai bagian badan yang
sensitif terhadap getaran terutama di bagian lateral. Bagian badan yang
sensitif ini sangat membantu ikan sidat dalam bergerak karena kemampuan
penglihatannya kurang baik. Di samping itu, ikan sidat juga memiliki
organ penciuman yang sangat baik untuk membantu mengatasi kelemahan
penglihatannya.
Organ pernafasan sidat terdiri atas
insang dan kulit. Lamela-lamela yang ada dalam insang memberi kemampuan
padanya untuk mengambil oksigen langsung dari udara, selain oksigen yang
terlarut dalam air. Untuk mempertahankan kelembaban dalam rongga
branchial, sidat dilengkapi dengan tutup insang berupa organ yang sangat
kecil terletak di bagian belakang kepala dan sangat sulit dilihat
(Tesch, 2003).
Mata ikan sidat akan beradaptasi saat
memasukan perairan laut dalam. Pembesaran mata ikan sidat mencapai empat
kali lipat ukuran normal, hal ini dilakukan untuk meningkatan kemampuan
melihat karena lingkungan perairannya sudah mulai gelap. Pankhrust
(1982) menyatakan pada saat memasuki perairan laut dalam komposisi sel
retina akan mengalami perubahan, menyesuaikan intensitas cahaya.
2) Adaptasi Fisiologi
Pada saat ikan sidat menyiapkan diri
untuk memijah dan bermigrasi dari perairan tawar menuju laut dalam yang
jaraknya sekitar 3.000 km terjadi perubahan pada badan yaitu diameter
mata membesar. Pankhrust (1982) menyatakan bahwa membesarnya mata saat
memijah mencapai empat kali dari sebelumnya. Selain mata, perubahan
badan lainnya ketika akan memijah antara lain warna sirip pektoral yang
makin gelap, perubahan komposisi sel pada retina, perubahan warna badan
menjadi silver, sisik membesar, dermis menebal, densitas sel mukus
meningkat terutama pada betina, bentuk kepala agak pipih, adanya
peningkatan panjang dan diameter kapiler pada gelembung renang,
peningkatan aktivitas Na+/K+-ATP ase pada insang, usus mengalami
peningkatan bobot namun jumlah lipatannya menurun, serat otot tonus
meningkat, penumpukan glikogen dalam hati dan lain- lain. Mekanisme
perubahan badan tersebut banyak melibatkan hormon-hormon dalam badan,
karena perubahan lingkungan akan mempengaruhi hipotalamus, yang
seterusnya mempengaruhi hipofisa dan organ-organ target di bawahnya.
Menurut Tesch (1977), perkembangan gonad
sidat terbagi menjadi delapan tingkatan mulai dari gonad berbentuk
benang tipis hingga berupa pita berwarna putih. Scott (1979)
mengemukakan faktor lingkungan yang dominan yang mempengaruhi
perkembangan gonad adalah suhu, pakan, periode cahaya, dan musim.
Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap
determinasi kelamin. Pada keadaan temperatur sedang (20°C–23°C) akan
menghasilkan lebih banyak jantan sedangkan pada temperatur rendah dan
tinggi akan didominasi oleh betina. Perkembangan gonad sangat terkait
dengan ketersediaan pakan, selama melakukan migrasi ikan sidat tidak
makan sehingga mempengaruhi energi untuk reproduksi. Kondisi malnutrisi
ini dapat mempengaruhi fungsi hipofisis gonadotropin yang berakibat pada
penghambatan pertumbuhan gonad. Pada kondisi ini ikan akan memanfaatkan
energi yang ada dalam badan untuk maintenance dan perkembangan gonad.
Simpanan energi dalam badan ikan berasal dari konsumsi pakan dengan
kadar lemak tinggi.
Periode pencahayaan dan musim sangat
berpengaruh pada kematangan gonad ikan sidat sub tropis. Untuk spesies
tropik musim hujan dan banjir sangat mempengaruhi kematangan gonad hal
ini disebabkan oleh perubahan konsentrasi garam-garam dalam air, dan
pasokan pakan akibat banjir akan memacu perkembangan gonad. Querat et
al. (1987) menduga bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan yang
dapat menginduksi kematangan gonad pada sidat, dengan cara menstimulasi
ekskresi estradiol 17. Pengaruh periode cahaya dan salinitas terhadap
perkembangan gonad ikan sidat telah diteliti oleh Herianti (2005) dari
hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa cahaya dan salinitas
mempengaruhi perkembangan ovarium ikan sidat pada fase yellow eel.
Pencahayaan yang diperpanjang memacu perkembangan ovarium ikan sidat
dalam lingkungan air tawar. Perkembangan ovarium meningkat pada suhu
yang lebih tinggi berkaitan
Adaptasi fisiologis, juga dilakukan oleh
ikan sidat pada saat menghadapi kondisi lingkungan yang kurang baik.
Secara umum, ikan sidat lebih tahan terhadap konsentrasi oksigen yang
rendah jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Pada kondisi “
apnoea”, yaitu keadaan di mana otot-otot pernafasan dan alat pernafasan
lainnya (insang, paru-paru) dalam kondisi istirahat, elver (benih sidat)
mampu bernapas selama 30 menit. Selama 30 menit tersebut, elver hanya
menggunakan oksigen yang tersimpan dalam darahnya, tanpa mengambil
oksigen dari luar. Kemampuan ini merupakan bukti bahwa ikan sidat mampu
hidup dalam kondisi hipoxia (kekurangan oksigen). Ikan sidat mampu
bernafas melalui permukaan kulit dan pada kondisi tertentu insang ikan
sidat juga mampu mengambil oksigen langsung dari udara (Tesch, 2003).
Sidat berukuran 100 g mampu mengatur dan
mengkompensasi oksigen yang rendah, tetapi tidak tahan terhadap
konsentrasi karbondioksida yang tinggi ( hypercapnia). Daya tahan yang
tinggi terhadap hypoxia pada sidat ukuran 100 g diduga mengurangi daya
tahannya terhadap hypercapnia. Sedangkan pada sidat berukuran 100–300 g,
kemampun bertahan pada kondisi hypoxia juga diimbangi dengan kemampuan
bertahan dalam kondisi hypercapnia. Ikan sidat mempunyai toleransi yang
tinggi terhadap suhu hal ini disebabkan karena secara alami ikan yang
melakukan aktivitas migrasi memiliki toleransi yang luas terhadap suhu
dan salinitas. Daya toleransi terhadap suhu juga akan meningkat sejalan
dengan bertambahnya ukuran badan ikan. Glass eel (larva sidat) spesies
Anguilla australis mampu hidup pada suhu 28°C, elver 30,5°C–38,1°C dan
sidat dewasa 39,7°C. Ikan sidat tropis ( A. bicolor, A. marmorata )
kemungkinan besar mempunyai toleransi terhadap suhu yang lebih tinggi
dari A. austra- lis .
Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya
akan melakukan adaptasi terhadap salinitas. Stadia glass eel (larva)
lebih menyukai air laut dan bersifat osmoregulator kuat. Sedangkan elver
(benih sidat) yang sudah mengalami pigmentasi penuh lebih menyukasi
perairan tawar.
Salinitas media pemeliharaan juga
mempengaruhi respons ikan sidat terhadap tekanan lingkungan. Glass eel
A. anguilla yang dipelihara di air tawar dan mampu hidup 60 hari tanpa
makan sedikitpun. Pada salinitas 10 dan 20 ppt, glass eel mampu berpuasa
37 dan 35 hari. Dengan demikian, salinitas mampu meningkatkan daya
tahan glass eel terhadap kelangkaan makanan. Glass eel yang sedang
bermetamorfosa ke stadia elver lebih tahan terhadap kelaparan jika
berada di perairan tawar daripada periaran payau. Ketahanan terhadap
kelaparan diduga berhubungan dengan kapasitas ikan sidat dalam melakukan
proses osmoregulasi dan penurunan konsumsi energi untuk proses
metabolisme.
3.2Cara Reproduksi Ikan Sidat
Perkembangan gonad sidat sangat unik dan
jenis kelaminnya berkembang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Pada
saat anakan kondisi seksualnya berganda sehingga tidak mempunyai
jaringan yang jelas antara jantan dan betinanya. Pada tahap selanjutnya
sebagian gonad akan berkembang menjadi ovari (indung telur) dan sebagian
lagi menjadi testis dengan perbandingan separuh dari populasinya adalah
jantan dan separuh lagi betina.
Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan
berkembang dalam waktu yang panjang di perairan tawar, sidat dewasa
yang lebih dikenal dengan yellow eel berkembang menjadi silver eel
(matang gonad) yang akan bermigrasi ke laut untuk memijah (Rovara dkk.,
2007).
Sidat termasuk hewan yang bersifat
katadormus karena pada ukuran anakan sampai dewasa tinggal di perairan
tawar namun ketika akan memijah beruaya ke laut dalam. Pemijahan
diperkirakan berlangsung pada kedalaman 400-500 meter dengan suhu 16-17
oC dan salinitas 35 permill. Jumlah telur yang dihasilkan (fekunditas)
setiap individu betina berkisar antara 7juta-13 juta butir dengan
diameter sekitar 1 mm (Matsui, 1982). Telur akan menetas dalam waktu 4-5
hari. Setelah memijah induk sidat biasanya akan mati.
Benih sidat yang baru menetas berbentuk
lebar seperti daun yang dinamakan leptocephalus yang memiliki pola
migrasi vertikal, yaitu cenderung naik ke permukaan pada malam hari dan
siang hari turun ke perairan yang lebih dalam. Selanjutnya benih akan
berkembang dalam beberapa tahapan menjadi agak silindris dengan warna
agak buram yang dikenal dengan nama glass eel (Gambar 1). Pada tahap
glass eel biasanya sudah mulai terdapat pigmentasi pada bagian ekor dan
kepala bagian atas (Tesch, 1977). Umur glass eel yang tertangkap di
muara sungai diperkirakan antara 118-262 hari dengan umur rata-rata
182,8 hari (Setiawan dalam Rovara, 2007). Panjang tubuh glass eel antara
5 – 6 cm dengan berat sekitar 0,2 gram.
Gambar 1. Benih sidat (glass eel) pada kotak penampungan
Keberadaan glass eel sangat tergantung
pada musim. Hal ini lebih dipertegas lagi dari hasil wawancara dengan
pengumpul benih sidat di Pelabuhan Ratu Sukabumi yang mengatakan bahwa
ketersediaan benih sidat sangat tergantung dengan musim dan umumnya
lebih banyak pada musim penghujan (Nopember – April). Jumlah glass eel
yang tertangkap selama kurun waktu tersebut sangat berfluktuasi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Tesch (1977) bahwa glass eel akan bermigrasi
masuk ke perairan tawar pada saat salinitas di muara sungai relatif
rendah (1-2 ppt). Salinitas rendah seperti ini akan banyak terkondisikan
pada musim hujan.
Penangkapan benih sidat pada umumnya
dilakukan pada malam hari ketika bulan mati/gelap dengan menggunakan
sirip (hanco dengan mesh size halus) dengan penerangan lampu petromax.
Jumlah nelayan penangkap benih sidat di Pelabuhan Ratu bila sedang
musimnya mencapai ratusan orang dan hasilnya dijual ke pengumpul.
3.3 Siklus Hidup Ikan Sidat
Daur hidup ikan sidat dibagi menjadi 3 fase yaitu :
- Fase hidup di laut, yaitu pada saat telurnya menetas menjadi larva (leptocephali) berbentuk seperti pita transparan.
- Fase hidup di daerah estuari, dimana larva telah berkembang menjadi elver atau “glass eel” dengan cirri-ciri tubuh masih tembus pandang. Pada fase ini larva aktif bermigrasi dari laut dalam kea rah estuari atau muara sungai mencari salinitas yang lebih rendah, pada fase ini pigmentasi mulai berkembang.
- Fase hidup di sungai untuk tumbuh menjadi individu dewasa.
Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan
berkembang dalam waktu yang panjang di perairan tawar sidat dewasa yang
lebih dikenal yellow eel berkembang menjadi silver eel (matang gonad)
dan selanjutnya silver eel akan bermigrasi ke perairan laut dalam untuk
memijah. Stadia perkembangan ikan sidat Anguillid eel umumnya sama, baik
tropic maupun yang berada pada daerah empat musim (temperate), yaitu
stadia leptocephalus, stadia metamorphosis, stadia glass eel atau elver,
yellow eel dan silver eel (sidat dewasa matang gonad). (Setiawan, dkk
2003).
Sidat memijah pada zona lapisan tengah
dimana memiliki karakteristik temperature optimum 20 derajat Celsius dan
salinitas tinggi. Dalam tempo 2-10 hari telur tersebut menetas. Larva
tersebut masih berbentuk seperti pita transparan. Stadia ini disebut
leptocephali. Jumlah telur yang di hasilkan kurang lebih 3 juta telur
per kilogram berat induk betinanya (Boetius, 1980 dalam
Deelder, 1984). Temperatur dan salinitas sangat kuat mempengaruhi
migrasi ikan ke sungai. Elver akan memilih periode dimana terjadi
perbedaan temperature air sungai dan temperature air laut yang paling
kecil. Factor lingkungan lainnya yang berpengaruh adalah pasang surut,
angin, sinar matahari.
3.4 Mengetahui Potensi Bisnis Ikan Sidat
Sidat memiliki potensi yang cukup besar
untuk dikembangkan menjadi komoditi perikanan unggulan karena permintaan
dunia yang sangat tinggi. Pada tahun 1995 permintaan akan sidat
mencapai 205.000 ton yang senilai dengan 3,1 milyar dollar Amerika dan
sebagian besar (92%) dihasilkan dari budidaya (Rovara dkk., 2007).
Sayangnya pasokan benih terus menurun secara drastis pada beberapa
negara yang teknik budidaya sidatnya sudah maju (Jepang, China, Taiwan,
Itali dan Belanda).
Sebaliknya Indonesia yang memiliki sidat
dengan jenis yang cukup beragam belum dimanfaatkan secara optimal.
Kebanyakan sidat yang dipasarkan merupakan hasil tangkapan dari alam.
Sampai saat ini jumlah pembudidaya sidat masih sangat terbatas, padahal
potensi benih sidat (glass eel) di Indonesia cukup tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa antara jumlah produksi benih yang dihasilkan dari alam
belum sepadan dengan pemanfaatnnya untuk pembesaran. Dengan demikian
perlu diwaspadai karena kenyataan di lapangan justru permintaan ekspor
terhadap benih sidat (glass eel) semakin meningkat, misalnya dengan
dalih untuk penelitian.
Saat ini pengkonsumsi ikan sidat terbesar
adalah negara Jepang dengan 150 ribu ton pertahun dari total 250 ribu
ton konsumsi ikan sidat di seluruh dunia. Namun produksi negari sakura
itu hanya 21 ribu ton per tahun dan sisanya dipenuhi dengan mengimpor
dari negara lain termasuk Indonesia (sebagian sangat kecil). Negara peng
ekspor sidat terbesar saat ini adalah Tiongkok, namun itupun masih
sangat jauh dari dari total kebutuhan dunia akan ikan sidat dan ditambah
lagi saat ini ikan sidat produksi Tiongkok mulai dijauhi karena banyak
mengandung bahan kimia. Harga ikan sidat yang mencapai 70 ribu / kg nya
dan kebutuhan yang jauh melebihi supplai tentu menjadikan bisnis
pembesaran ikan sidat ini sebagai salah satu bidang usaha yang sangat
layak untuk dilirik. Sebagai gambaran sederhana perhitungan bisnis
pembesaran ikan sidat dengan modal awal 15 juta bisa menghasilkan laba
kotor hingga 13 juta dengan lama waktu 3 bulan.
1) Kandungan gizi daging ikan sidat
Ikan sidat Ikan salmon
DHA 1337 mg/100 gr 820 mg /100 gr
EPA 742 mg / 100 gr 492 mg / 100 gr
Dan mengandung :
- Vitamin B1 25 kali lipat dari susu sapi
- Vitamin B2 5 kali lipat dari susu sapi
- Vitamin A 45 kali lipat dari susu sapi
- Zinc (emas otak) 9 kali lipat dari susu sapi
- Asam lemak omega 3 tinggi, 10.9 gr/100 gr
- Gizi tinggi, kaya protein, vitamin D dan E serta asam amino lemak ganggang dan asam ribonukleat
- Mempunyai rentang salinitas sangat tinggi
2) Manfaat daging ikan sidat bagi kesehatan
- Menurunkan kandungan lemak jahat dalam darah
- Menghindari penyakit aterosklerosis dan mengurangi keletihan
- Mendorong terbentuknya lemak fosfat dan perkembangan otak besar
- Meningkatkan daya ingat
- Memperbaiki sirkulasi kapiler
- Mempertahankan tekanan darah normal
- Mengobati pembuluh darah otak, rabun jauh, rabun dekat, glaukoma dan penyakit mata kering karena kelelahan
- Meningkatkan imunitas tubuh sebagai antioksidan
BAB IV
PENUTUP
3.5 Kesimpulan
Kesimpulan yang di dapat dari pembuatan makalah ini ialah sebagai berikut :
- Pergerakan ruaya ikan ke daerah pemijahan mengandung tujuan penyesuaian dan peyakinan tempat yang paling menguntungkan untuk perkembangan telur dan larva.
- Perkembangan gonad sidat sangat unik dan jenis kelaminnya berkembang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Pada saat anakan kondisi seksualnya berganda sehingga tidak mempunyai jaringan yang jelas antara jantan dan betinanya. Pada tahap selanjutnya sebagian gonad akan berkembang menjadi ovari (indung telur) dan sebagian lagi menjadi testis dengan perbandingan separuh dari populasinya adalah jantan dan separuh lagi betina.
- Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang di perairan tawar sidat dewasa yang lebih dikenal yellow eel berkembang menjadi silver eel (matang gonad) dan selanjutnya silver eel akan bermigrasi ke perairan laut dalam untuk memijah.
- Sidat memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi komoditi perikanan unggulan karena permintaan dunia yang sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R. & Riani. 1995. Pengaruh Salinitas Terhadap Derajat Kelangsungan Hidup Pertumbuhan Benih Ikan Sidat (Elver), Anguilla bicolor. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Vol. 3(1): 39- 48.
Bromage, N., J. Shephred & J. Roberts. 1992. Farming Systems And Husbandry Practice. Blackwell Scientific Publications, Cambridge.
Herianti, I. 2005. Rekayasa Lingkungan Untuk Memacu Perkembangan Ovarium Ikan Sidat (Anguilla bicolor). Oseanologi dan Limnologi No. 37: 25-41.
Kamil, M.T., R. Affandi, I. Mokognita & D. Jusadi. 2000. Pengaruh
Kadar Asam Lemak O 6 Yang Berbeda Pada Kadar Asam
Lemak O 3 Tetap Dalam Pakan Terhadap Pertumbuhan Ikan Sidat (Anguilla bicolor). Jurnal Central Kalimantan Fisheries Vol. 1(1): 34-40.
Keni. 1993. Atraktan Dalam Pakan Sidat. Majalah Perikanan Techner No. 09 September 1993.
Matsui, I. 1982. Theory And Practice Of Eel Culture. AA. Balkema/Rotterdam.
Nelson, J.S. 1994. Fishes Of The World, 3rd editions. John Wiley & Sons, Inc., New York, xv+600 pp.
Peni, S.P. 1993. Tiga Jenis Sidat Laku Ekspor. Trubus No. 285 Th.XXIV.
Pratiwi, E. 1998. Mengenal Lebih Dekat Tentang Perikanan Sidat (Anguilla spp.). Warta Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 4(4): 8-12.
Rovara, O., I.E. Setiawan & M.H. Amarullah. 2007. Mengenal Sumberdaya Ikan Sidat.BPPT- HSF, Jakarta.
Sarwono, B. 1999. Budidaya Belut Dan Sidat. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sutardjo & Machfudz. 1982. Percobaan pendahuluan penangkapan dan pengangkutan elver (Anguilla bicolor).
Komentar :
Posting Komentar