Riverboarding adalah sebuah olahraga air yang bisa
dibilang salah satu olah raga ekstrem dan masih baru di Indonesia,
apalagi di Yogyakarta. Riverboarding sering disebut juga hydrospeed.
Emang seperti apa sih olahraganya? Pasti pada penasaran kan?
Belajar riverboarding ini ibarat kita belajar naik sepeda, belajar
bagaimana mengatur keseimbangan, membelok, mengerem dan sebagainya. Yang
pasti harus tetap bisa berada diatas board/papan tanpa terjatuh
mengikuti derasnya aliran sugai. Emang lebih mudahnya langsung dicoba
daripada diuraikan teorinya.
Pengen cerita dikit nih tentang apa sih sebenarnya riverboarding itu?
Ada teman yang menggambarkannya sebagai bersepeda downhill tanpa rem.
Well, tidak sepenuhnya begitu. Berselancar di atas derasnya arus sungai
dengan sebilah papan ada seninya, makin dikuasai makin dapat kita
kendalikan, mau kita lambatkan atau percepat, meliuk seperti pemain
skateboard pun bisa juga.
Sejarah
Riverboarding lahir pada tahun 1970an. Awalnya muncul dari kebosanan
sekelompok pemandu rafting di Perancis. Mereka menginginkan “berenang di
sungai” dengan cara yang lebih menarik, lebih menantang. Maka
orang-orang yang sudah sangat akrab dengan karakter sungai itu mengikat
beberapa jaket pelampung menjadi satu, lalu terjun. Ya, sesederhana
itulah cikal bakal lahirnya riverboard. Harus diakui, orang Perancis
memang paling kreatif menciptakan tantangan yang tak terbayangkan
sebelumnya.
Salah satu faktor tantangan dalam kegiatan yang juga dikenal dengan
sebutan hydrospeed ini adalah kecepatan. Pada bagian arus yang sangat
deras, kecepatan peselancar bisa melebihi 30 km per jam. Sama sekali
tidak cepat jika dibandingkan kebut-kebutan dengan sepeda motor. Namun,
tantangan lainnya adalah hubungan langsung antara pelaku dengan sungai.
“It’s just between you and the river”, begitu semboyan para pecintanya.
Papan selancar “modern” yang umumnya terbuat dari karet busa itu
berketebalan 8-12 cm. Di air sungai yang bergolak, terkadang papan
setebal itu tidak berarti apa-apa. Dengan perahu karet atau kayak, kita
seringkali ditelan jeram. Dengan riverboard, hampir sepanjang waktu kita
berada sejajar dengan permukaan air. Sisanya, sebentar terbenam
sebentar terlempar ke udara. Itu sebabnya ada situs internet tentang
selancar sungai memasang judul Face Level (www.facelevel.com)
Tak lama berselang, orang-orang Perancis pencetus riverboarding ini
mengganti pelampung yang awalnya sekadar diikat dengan karet busa.
Bentuknya pun terus dikembangkan, hingga mencapai bentuk dasar papan
selancar sungai yang dikenal sekarang.
Kini, riverboarding sudah menyebar luas di Eropa, Amerika dan Australia
serta Selandia Baru. Namun kata Robert Carlson, salah satu tokoh
riverboarding modern, sebenarnya kegiatan hydrospeed sudah ada sejak
zaman prasejarah! Bagaimana bisa? Menurut Carlson, siapa pun yang
melompat masuk ke sungai dengan alat pengapung apa pun, lalu
“berselancar” mengikuti arus, dapat dikategorikan sebagai peselancar
sungai. Misalnya, ada kelompok-kelompok manusia purba yang memanfaatkan
pohon tumbang atau balok kayu sebagai alat transportasi
Di Indonesia sendiri kegiatan ini belum begitu populer dan belum banyak
diminati. Namun Rocky Mountain (AS), Colorado (AS), Alpen di Perancis,
New Zealand dan Australia, olahraga sejenis telah lebih dulu dikenal dan
diminati oleh banyak orang.
Alat yang digunakan
Papan (Board)
Yups! …tentu yang utama adalah papan atau board. Pada dasarnya papan
yang digunakan tidak memiliki suatu ketentuan atau prototipe tertentu
yang bersifat baku dan terstandarisasi. Selain satu hal yang dijadikan
prinsip adalah bagaimana alat itu sedemikian rupa agar dapat
dipergunakan untuk mengakomodasi berat badan secara perorangan sehingga
mengapung diatas air dan mudah untuk dikendalikan, sisanya disesuaikan
dengan citra, selera dan kenyamanan
Pelampung Badan (Life Jacket)
Pelampung yang digunakan standar, selain dapat menahan bobot badan di
air sehingga badan bisa terapung, hal ini berfungsi untuk mengantisipasi
apabila terjadi situasi krisis, misalnya yang tidak begitu pandai
berenang pada saat pengarungan terlepas dengan bodyboarnya, terjadi
kram, atau pingsan sekalipun tetap merasa “terjamin” dan mudah untuk
diberikan pertolongan.
Helm
Berfungsi sebagaimana pelampung, helm adalah alat antisipasi untuk
melindungi kepala dari benturan benda keras, terutama batuan pada saat
memasuki jeram. Prinsip helm yang dapat digunakan ia bersifat handal,
nyaman, aman, ringan dan terapung.
Pengaman sikut/lutut (decker)
Pengaman sikut dan dengkul (decker) sangat direkomendasikan untuk
dikenakan, mengingat bagian ini rawan terkena kontak atau benturan baik
dengan batu atau objek lain pada saat pengarungan. Terutama decker untuk
dengkul atau lutut adalah merupakan bagian badan yang tidak terlindungi
oleh bodyboard. Sedangkan sikut mengingat pada saat pengarungan tangan
seringkali digunakan untuk membantu mengendalikan board dengan cara
mengayuh (paddling), dengan sendirinya ia rawan terjadi kontak dengan
bebatuan disepanjang track.
Sepatu Katak (fin)
Sepatu katak (fin) digunakan secara tentatif. Artinya bagi yang merasa
perlu dipersilahkan menggunakannya, dan bagi mereka yang tidak
menganggapnya perlu juga tidak dipersalahkan. Pada prinsipnya sepatu
katak (fin) digunakan untuk membantu akselerasi dan manuver pada saat
kita harus mengejar track yang diinginkan.
Pakaian
Direkomendasikan menggunakan pakaian selam (wet short) atau jenis
pakaian lain yang tidak menghambat pergerakana badan, ataupun terlalu
banyak tali sehingga memungkinkan terbelit atau tersangkut bebatuan atau
obyek lain. Tapi tidak ada peraturan jenis pakaian seperti apa yang
“harus” digunakan, yang penting nyaman dan tidak mengganggu pergerakan
aktivitas saat mengarungi jeram.
Komentar :
Posting Komentar