Harga ikan asin gabus, tergolong paling tinggi di antara ikan asin
lainnya. Gabus dan sepat, merupakan dua ikan air tawar yang lazim
diasinkan. Sepat yang diasinkan, paling banyak berasal dari Kalimantan.
Baik sepat kecil, sedang, maupun ukuran besar. Sedagkan gabus asin, bisa
berasal dari mana-mana. Tetapi kebanyakan dari Jawa dan Sumatera.
Selain dikenal sebagai ikan asin, gabus juga biasa dipanggang seperti
halnya tuna dan tongkol, sebelum dipasarkan. Di kota-kota kecamatan di
sekitar waduk, danau, setu dan rawa diJawa, akan kita jumpai ikan nila
(mujair), lele, sepat, betik, wader, belut, lele, dan gabus. Di Jawa
Tengah, gabus biasa disebut kotes, kutuk, atau deleg. Di Kalimantan
dinamakan ikan toman.
Daging ikan gabus tergolong bercitarasa sangat lezat. Jauh lebih lezat dibanding ikan lele. Sayangnya, daging ikan gabus berduri kecil-kecil, seperti halnya daging bandeng dan ikan mas. Meskipun duri lembut dalam daging gabus, tidak sebanyak pada ikan mas dan bandeng, karena terkonsentrasi hanya pada bagian atas. Duri dalam daging ikan gabus yang akan mengganggu ketika disantap ini, tetap tidak mengurangi minat para penggemarnya. Hingga permintaan gabus asin terus saja tetap tinggi, dibanding dengan ikan asin lainnya. Di pasar tradisional maupunpasar swalayan, ikan asin gabus tergolong paling tinggi harganya dibanding dengan ikan asin lain.
Selama ini, produksi gabus asin masih mengandalkan tangkapan dari alam, terutama dari sungai, waduk, danau, setu dan rawa-rawa di Jawa serta Sumatera. Penangkapan gabus dari alam ini masih dilakukan secara manual dengan jaring, jala dan pancing. Ikan gabus ukuran di atas 0,5 kg bobot segar (ketika belum diasin), umumnya berasal dari hasil pancingan. Sementara yang kecil-kecil berasal dari jaring dan jala. Proses pengasinan gabus, selalu dilakukan di lokasi penangkapan. Terlebih bila volume ikan yang ditangkap cukup besar. Harga ikan asin gabus ini sedemikian tingginya, hingga para pedagang sering mengasinkan ikan tangkapan ini, meskipun dalam jumlah satu atau dua ekor saja.
Selain merupakan tangkapan dari alam, gabus juga merupakan produk sampingan dalam budidaya ikan air tawar maupun payau. Sebagai predator, gabus akan makan apa saja. Mulai dari kodok, udang, belut, ikan kecil, bahkan kadang-kadang tikus pun ditangkapnya. Sebab gabus bisa tahan berada di daratan dalam jangka waktu agak lama, karena adanya “labirin” yang bisa menangkap oksigen langsung dari udara, selain tentu saja punya insang. Ikan “hama” ini biasanya dijumpai dalam volume yang cukup besar, terutama di tambak udang. Baik udang air tawar (udang galah) maupun udang air payau (udang putih dan windu). Kadang-kadang para petambak membiarkan gabus ini tetap ada di tambak sebagai ikan hama, sebab nilai ekonomisnya juga cukup baik.
Gabus belum bisa diproduksi secara massal sebagaimana halnya lele, ikan mas, nila dan gurami, karena belum bisa dipijahkan secara buatan. Secara teknis, pemijahan buatan pada gabus sama saja dengan ikan lain, terutama sangat mirip dengan lele. Namun secara aplikatif, teknologi pemijahan ini belum bisa diterapkan, karena belum didukung oleh ketersediaan induk, terutama induk betina. Juga belum didukung oleh kesiapan pasar, yakni para peternak yang akan membesarkannya. Sebab beda dengan lele dumbo yang sudah bisa mengkonsumsi pelet, maka gabus sama dengan lele lokal, hanya mau pakan alami. Baik berupa hewan hidup, maupun yang sudah mati. Inilah yang menjadi penyebab, mengapa gabus masih belum bisa dimassalkan sebagaiana lele dumbo.
Meskipun pemijahan gabus secara buatan masih belum dilakukan secara massal untuk tujuan komersial, namun pemijahan secara alami tetap bisa dilakukan. Sebelum teknik pemijahan buatan bisa diaplikasikan ke ikan mas, maka pemijahan secara alami tetap bisa dilakukan untuk tujuan komersial. Bahkan teknik pemijahan buatan pada lele, baru bisa dilakukan setelah kedatangan lele dumbo. Sementara lele lokal sampai sekaranf tetap belum bisa dibudidayakan. Hingga pemijahan gabus secara alami tetap bisa dikembangkan, selain tetap mengandalkan upaya penangkapan benih dari alam secara manual.
Karena di alam aslinya gabus hidup di perairan dengan lubuk-lubuk yang dalam dan gelap, maka kolam tempat pemijahan gabus memerlukan lubang-lubang buatan. Pemijahan lele lokal yang dikembangkan pada awal tahun 1980an, menggunakan gentong-gentong yang ditaruh miring di dalam kolam. Gentong yang dimiringkan inilah yang dijadikan sarang untuk berpijah bagi lele. Upaya ini relatif berhasil digunakan untuk lele lokal. Tetapi teknik tersebut kemudian tidak berkembang, karena tidak lama kemudian diintroduksi lele dumbo yang bisa dipijahkan secara buatan, serta mau diberi pelet. Sejak itu lele lokal tersisihkan seperti halnya mujair.
Gabus adalah ikan air tawar dari keluarga Channidae. Barangkali karena sosoknya mirip ular, maka gabus juga disebut sebagai snakeheads. Ada dua genera snakeheads, yakni genera Channa yang hidup di Asia dan Parachanna yang terdapat di Afrika. Dari dua genera itu, diperkirakan ada sekitar 30 spesies ikan gabus dengan perbedaan ukuran yang sangat mencolok.Yang paling kecil adalah Channa gachua dengan panjang 25 cm, dan digolongkan sebagai “dwarf snakehead”. Kebanyakan spesies gabus berukuran 60 sd. 100 cm. Dan hanya dua spesies yang mencapai ukuran di atas 1 m. dengan bobot 6 kg, yakni Channa marulius dan Channa micropeltes.
Dari 30 spesies snackhead tersebut, diantaranya adalah: Borna snackhead (Channa amphibeus), Northern snackhead (Channa argus), Channa asiatica, Channa aurantimaculata, Channa bankanensis, Barca snackhead (Channa barca), Rainbow snackhead (Channa bleheri), Channa burmanica, Channa cyanospilos, Channa gachua, Channa harcourtbutleri, Forest snackhead (Channa lucius), Channa maculata, Channa marulioides, Great snackhead (Channa marulius), Channa melanoptera, Black snackhead (Channa melasoma), Giant snackhead (Channa micropeltes), Channa nox, Walking snackhead (Channa orientalis), Channa panaw, Channa pleurophthalmus, Spotted snackhead (Channa stewartii), Snackhead murrel (Channa striata), Parachanna africana, Parachanna insignis, Obscure snackhead (Parachanna obscura).
Selama ini masyarakat menyebut semua snakehead dengan nama gabus. Padahal, gabus kita sebenarnya terdiri dari beberapa spesies. Mulai dari Great snackehead (Channa marulius), Snackhead murrel (Channa striata), Giant snackhead (Channa micropetes), Forest snackhead (Channa lucius) dan Channa gacua. Tiga spesies gabus yang hidup di perairan Indonesia, Great snackehead, Snackhead murrel, dan Giant snackhead, bisa mencapai panjang 1 m. Forest snackhead hanya bisa mencapai panjang 40 cm, dan Channa gacua merupakan snakehead paling kecil, dengan panjang maksimun 20 cm. Channa gacua inilah yang di Jawa Tengah disebut “kotes”.
Great snackehead, pernah diberi nama Ophiocephalus striatus (Bloch, 1793) serta Ophiocephalus vagus (Peters, 1868). Namun nama yang sampai sekarang digunakan adalah Channa marulius (Hamilton, 1822). Dengan panjang bisa mencapai lebih dari 1 m, dan bobor lebih dari 6 kg, Channa striata, Channa marulius, dan Channa micropetes, potensial untuk dikembangkan sebagai ikan budidaya. Sifatnya sebagai ikan predator, bukan merupakan halangan untuk menjinakkannya hingga mau mengkonsumsi pakan buatan. Sebab lele dumbo dan patin pun, sebenarnya juga ikan carnifora. Demikian pula sidat jepang dan kodok Bullfrog dari AS, yang sekarang sudah bisa dibudidayakan secara intensif.
Sebelum upaya pemijahan serta penciptaan pakan buatan berhasil dilakukan, gabus tetap bisa dibudidayakan secara semi intensif. Caranya, pemijahan dilakukan secara alami, dengan kolam mendekati habitat asli gabus. Selanjutnya burayak gabus dikumpulkan, untuk dibudidayakan secara khusus dalam bak, dengan pakan intensif, aerator, serta sirkulasi air. Setelah mencapai ukuran di atas 10 cm, barulah anak gabus ini dibesarkan di kolam yang airnya mengalir. Sebab meskipun gabus mampu bernapas dengan labirinnya dalam lumpur, namun lumpur sungai, danau atau rawa, beda dengan lumpur kolam yang penuh dengan endapan sisa pakan serta kotoran.
Hingga kolam pembesaran gabus, mutlak memerlukan sirkulasi air. Pakan dalam produksi gabus semi intensif, bisa berupa limbah peternakan. Misalnya ayam atau itik yang mati, usus, jeroan ikan dll. Bisa pula agroindustri pembesaran gabus ini dikombinasikan dengan peternakan cacing atau bekicot. Limbah organik akan diolah oleh cacing dan bekicot menjadi kompos, sementara cacing dan bekicotnya akan menjadi makanan gabus. Cara lain adalah, dengan memelihara nila atau mujair biasa. Bukan nila yang 100% jantan. Sebab nila akan mudah sekali berkembangbiak. Anak-anak nila inilah yang akan menjadi pakan alami gabus.
Ikan mas pun, sebenarnya bisa menjadi pakan gabus. Sebab harga ikan mas, jauh lebih murah dibanding gabus. Caranya, kita bisa mengambil benih ikan mas ukuran 10 cm, kemudian dimasukkan ke kolam gabus. Secara periodik, ke dalam kolam gabus itu dimasukan anak ikan mas. Kalau harga ikan mas tidak terpaut banyan dibanding gabus, maka bisa dicari alternatif pakan lainnya. Bisa tawes, karper, patin, jambal air tawar dan lain-lain, yang harganya jauh di bawah gabus. Dengan cara seperti ini, petani ikan akan bisa meraih keuntungan lebih besar.Kalau hasil panen gabus melimpah dan harganya jatuh, masih bisa diasinkan, dengan nilai tambah bagi petani ikan.
Sumber : http://foragri.wordpress.com/
Daging ikan gabus tergolong bercitarasa sangat lezat. Jauh lebih lezat dibanding ikan lele. Sayangnya, daging ikan gabus berduri kecil-kecil, seperti halnya daging bandeng dan ikan mas. Meskipun duri lembut dalam daging gabus, tidak sebanyak pada ikan mas dan bandeng, karena terkonsentrasi hanya pada bagian atas. Duri dalam daging ikan gabus yang akan mengganggu ketika disantap ini, tetap tidak mengurangi minat para penggemarnya. Hingga permintaan gabus asin terus saja tetap tinggi, dibanding dengan ikan asin lainnya. Di pasar tradisional maupunpasar swalayan, ikan asin gabus tergolong paling tinggi harganya dibanding dengan ikan asin lain.
Selama ini, produksi gabus asin masih mengandalkan tangkapan dari alam, terutama dari sungai, waduk, danau, setu dan rawa-rawa di Jawa serta Sumatera. Penangkapan gabus dari alam ini masih dilakukan secara manual dengan jaring, jala dan pancing. Ikan gabus ukuran di atas 0,5 kg bobot segar (ketika belum diasin), umumnya berasal dari hasil pancingan. Sementara yang kecil-kecil berasal dari jaring dan jala. Proses pengasinan gabus, selalu dilakukan di lokasi penangkapan. Terlebih bila volume ikan yang ditangkap cukup besar. Harga ikan asin gabus ini sedemikian tingginya, hingga para pedagang sering mengasinkan ikan tangkapan ini, meskipun dalam jumlah satu atau dua ekor saja.
Selain merupakan tangkapan dari alam, gabus juga merupakan produk sampingan dalam budidaya ikan air tawar maupun payau. Sebagai predator, gabus akan makan apa saja. Mulai dari kodok, udang, belut, ikan kecil, bahkan kadang-kadang tikus pun ditangkapnya. Sebab gabus bisa tahan berada di daratan dalam jangka waktu agak lama, karena adanya “labirin” yang bisa menangkap oksigen langsung dari udara, selain tentu saja punya insang. Ikan “hama” ini biasanya dijumpai dalam volume yang cukup besar, terutama di tambak udang. Baik udang air tawar (udang galah) maupun udang air payau (udang putih dan windu). Kadang-kadang para petambak membiarkan gabus ini tetap ada di tambak sebagai ikan hama, sebab nilai ekonomisnya juga cukup baik.
Gabus belum bisa diproduksi secara massal sebagaimana halnya lele, ikan mas, nila dan gurami, karena belum bisa dipijahkan secara buatan. Secara teknis, pemijahan buatan pada gabus sama saja dengan ikan lain, terutama sangat mirip dengan lele. Namun secara aplikatif, teknologi pemijahan ini belum bisa diterapkan, karena belum didukung oleh ketersediaan induk, terutama induk betina. Juga belum didukung oleh kesiapan pasar, yakni para peternak yang akan membesarkannya. Sebab beda dengan lele dumbo yang sudah bisa mengkonsumsi pelet, maka gabus sama dengan lele lokal, hanya mau pakan alami. Baik berupa hewan hidup, maupun yang sudah mati. Inilah yang menjadi penyebab, mengapa gabus masih belum bisa dimassalkan sebagaiana lele dumbo.
Meskipun pemijahan gabus secara buatan masih belum dilakukan secara massal untuk tujuan komersial, namun pemijahan secara alami tetap bisa dilakukan. Sebelum teknik pemijahan buatan bisa diaplikasikan ke ikan mas, maka pemijahan secara alami tetap bisa dilakukan untuk tujuan komersial. Bahkan teknik pemijahan buatan pada lele, baru bisa dilakukan setelah kedatangan lele dumbo. Sementara lele lokal sampai sekaranf tetap belum bisa dibudidayakan. Hingga pemijahan gabus secara alami tetap bisa dikembangkan, selain tetap mengandalkan upaya penangkapan benih dari alam secara manual.
Karena di alam aslinya gabus hidup di perairan dengan lubuk-lubuk yang dalam dan gelap, maka kolam tempat pemijahan gabus memerlukan lubang-lubang buatan. Pemijahan lele lokal yang dikembangkan pada awal tahun 1980an, menggunakan gentong-gentong yang ditaruh miring di dalam kolam. Gentong yang dimiringkan inilah yang dijadikan sarang untuk berpijah bagi lele. Upaya ini relatif berhasil digunakan untuk lele lokal. Tetapi teknik tersebut kemudian tidak berkembang, karena tidak lama kemudian diintroduksi lele dumbo yang bisa dipijahkan secara buatan, serta mau diberi pelet. Sejak itu lele lokal tersisihkan seperti halnya mujair.
Gabus adalah ikan air tawar dari keluarga Channidae. Barangkali karena sosoknya mirip ular, maka gabus juga disebut sebagai snakeheads. Ada dua genera snakeheads, yakni genera Channa yang hidup di Asia dan Parachanna yang terdapat di Afrika. Dari dua genera itu, diperkirakan ada sekitar 30 spesies ikan gabus dengan perbedaan ukuran yang sangat mencolok.Yang paling kecil adalah Channa gachua dengan panjang 25 cm, dan digolongkan sebagai “dwarf snakehead”. Kebanyakan spesies gabus berukuran 60 sd. 100 cm. Dan hanya dua spesies yang mencapai ukuran di atas 1 m. dengan bobot 6 kg, yakni Channa marulius dan Channa micropeltes.
Dari 30 spesies snackhead tersebut, diantaranya adalah: Borna snackhead (Channa amphibeus), Northern snackhead (Channa argus), Channa asiatica, Channa aurantimaculata, Channa bankanensis, Barca snackhead (Channa barca), Rainbow snackhead (Channa bleheri), Channa burmanica, Channa cyanospilos, Channa gachua, Channa harcourtbutleri, Forest snackhead (Channa lucius), Channa maculata, Channa marulioides, Great snackhead (Channa marulius), Channa melanoptera, Black snackhead (Channa melasoma), Giant snackhead (Channa micropeltes), Channa nox, Walking snackhead (Channa orientalis), Channa panaw, Channa pleurophthalmus, Spotted snackhead (Channa stewartii), Snackhead murrel (Channa striata), Parachanna africana, Parachanna insignis, Obscure snackhead (Parachanna obscura).
Selama ini masyarakat menyebut semua snakehead dengan nama gabus. Padahal, gabus kita sebenarnya terdiri dari beberapa spesies. Mulai dari Great snackehead (Channa marulius), Snackhead murrel (Channa striata), Giant snackhead (Channa micropetes), Forest snackhead (Channa lucius) dan Channa gacua. Tiga spesies gabus yang hidup di perairan Indonesia, Great snackehead, Snackhead murrel, dan Giant snackhead, bisa mencapai panjang 1 m. Forest snackhead hanya bisa mencapai panjang 40 cm, dan Channa gacua merupakan snakehead paling kecil, dengan panjang maksimun 20 cm. Channa gacua inilah yang di Jawa Tengah disebut “kotes”.
Great snackehead, pernah diberi nama Ophiocephalus striatus (Bloch, 1793) serta Ophiocephalus vagus (Peters, 1868). Namun nama yang sampai sekarang digunakan adalah Channa marulius (Hamilton, 1822). Dengan panjang bisa mencapai lebih dari 1 m, dan bobor lebih dari 6 kg, Channa striata, Channa marulius, dan Channa micropetes, potensial untuk dikembangkan sebagai ikan budidaya. Sifatnya sebagai ikan predator, bukan merupakan halangan untuk menjinakkannya hingga mau mengkonsumsi pakan buatan. Sebab lele dumbo dan patin pun, sebenarnya juga ikan carnifora. Demikian pula sidat jepang dan kodok Bullfrog dari AS, yang sekarang sudah bisa dibudidayakan secara intensif.
Sebelum upaya pemijahan serta penciptaan pakan buatan berhasil dilakukan, gabus tetap bisa dibudidayakan secara semi intensif. Caranya, pemijahan dilakukan secara alami, dengan kolam mendekati habitat asli gabus. Selanjutnya burayak gabus dikumpulkan, untuk dibudidayakan secara khusus dalam bak, dengan pakan intensif, aerator, serta sirkulasi air. Setelah mencapai ukuran di atas 10 cm, barulah anak gabus ini dibesarkan di kolam yang airnya mengalir. Sebab meskipun gabus mampu bernapas dengan labirinnya dalam lumpur, namun lumpur sungai, danau atau rawa, beda dengan lumpur kolam yang penuh dengan endapan sisa pakan serta kotoran.
Hingga kolam pembesaran gabus, mutlak memerlukan sirkulasi air. Pakan dalam produksi gabus semi intensif, bisa berupa limbah peternakan. Misalnya ayam atau itik yang mati, usus, jeroan ikan dll. Bisa pula agroindustri pembesaran gabus ini dikombinasikan dengan peternakan cacing atau bekicot. Limbah organik akan diolah oleh cacing dan bekicot menjadi kompos, sementara cacing dan bekicotnya akan menjadi makanan gabus. Cara lain adalah, dengan memelihara nila atau mujair biasa. Bukan nila yang 100% jantan. Sebab nila akan mudah sekali berkembangbiak. Anak-anak nila inilah yang akan menjadi pakan alami gabus.
Ikan mas pun, sebenarnya bisa menjadi pakan gabus. Sebab harga ikan mas, jauh lebih murah dibanding gabus. Caranya, kita bisa mengambil benih ikan mas ukuran 10 cm, kemudian dimasukkan ke kolam gabus. Secara periodik, ke dalam kolam gabus itu dimasukan anak ikan mas. Kalau harga ikan mas tidak terpaut banyan dibanding gabus, maka bisa dicari alternatif pakan lainnya. Bisa tawes, karper, patin, jambal air tawar dan lain-lain, yang harganya jauh di bawah gabus. Dengan cara seperti ini, petani ikan akan bisa meraih keuntungan lebih besar.Kalau hasil panen gabus melimpah dan harganya jatuh, masih bisa diasinkan, dengan nilai tambah bagi petani ikan.
Sumber : http://foragri.wordpress.com/
Komentar :
Posting Komentar